Sabtu, Juni 14

Membangun Karakter Melalui K13

          Dalam berbagai kesempatan, misalnya pada pidato pembukaan Kon-ferensi Kerja Nasional V Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggl 24 Januari 2013 di Lombok, NTB, Mendikbud Mohammad Nuh me-nyatakan bahwa pendidikan karakter dan budi pekerti mendapat perhatian khusus dalam Kurikulum 2013.
          Sampai kini memang belum jelas struktur Kurikulum 2013 karena semuanya masih “cair”, alias belum tersusun secara pasti. Meski sosialisasi Kurikulum 2013 sudah dilakukan di mana-mana tetapi penyempurnaannya masih dimungkinkan. Anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah menyatakan sampai kini (akhir Januari 2013) Panja Kurikulum 2013 belum menerima dokumen resmi kurikulum dari kementerian pendidikan dan kebudayaan. Artinya, selama dokumen resmi kurikulum belum dikirim ke DPR RI maka penyempurnaannya masih sangat terbuka untuk dilakukan.
          Untuk membangun karakter dan/atau budi pekerti anak didik dalam Kurikulum 2013 ada baiknya mengacu pendapat Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Di samping Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar adalah pendiri sekaligus pemimpin Perguruan Nasional Tamansiswa (National Onderwijs Tamansiswa). Kiranya banyak orang mengerti bahwa pendidikan budi pekerti (dan/atau karakter) merupakan cirikhas pendidikan Tamansiswa dengan Ki Hadjarnya.
          Di Majalah Poesara edisi Februari 1954,Ki Hadjar menyatakan budi pekerti wajib disampaikan kepada siswaoleh semua guru. Pengajaran budi pekerti sebaiknya diberikan secara spontan oleh sekalian pamong; jadi menurut adanya setiap kesempatan dan tidak harus menurut daftar pela-jaran. Pendidikan budi pekerti harus diberikan oleh tiap-tiap pamong, baik ia mengajarkan bahasa, sejarah, kebudayaan maupun ilmu alam, ilmu pasti, menggambar, dan sebagainya”, tulisnya.
          Untuk menjabarkan konsepnya, Ki Hadjar menyampaikanpentingnya empat tingkatan dalam menanamkan budi pekerti kepada anak didik; yaitusyariat, hakikat, tarikat, dan makrifat.
          Tingkat syariat cocok diberikan pada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK dan RA. Adapun metodanya dengan membiasakan berperi-laku baik menurut norma masyarakat. Anak TK dan RA tidak perlu diberi teori tentang budi pekerti tetapi langsung dibiasakan berperilaku yang baik menurut ukuran umum; misalnya saja mengucapkan salam ketika bertemu teman, menyatakan hormat ketika bertemu guru, mencium tangan kalau berhadapan dengan orang tua, dan sebagainya.
          Tingkat hakikat cocok diberikan pada anak berusia di atasnya; dalam hal ini murid SD dan MI. Anak tetap dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum tetapi dalam waktu bersamaan mulai perlu diberi pengertian sederhana mengenai mengapa ia harus berbuat demikian.
Contohnya, di samping dibiasakan mengucap salam sewaktu bertemu teman mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucapkan salam itu; misalnya saja ucapan salam itu dapat menimbulkan ikatan hati dan keakraban lahir batin antarteman.
          Tingkat tarikat cocok diberikan kepada anak berusia di atasnya lagi; dalam hal ini siswa SMP dan MTs. Siswa tetap dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian mengenai pentingnya hal itu dilakukan; tetapi bersamaan waktunya juga disertai dengan aktivitas pendukung yang cocok. Misalnya bagaimana anak-anak SMP dan MTs itu berkesenian, berolah puisi, berolah raga, dan bersastraria sambil berolah budi. Contohnya anak-anak SMP dan MTs dilatih menarihalussambil dijelaskan makna-makna gerakan yang ada didalamnya untuk menanamkan budi pekerti.
          Selanjutnya tingkatan makrifat cocok diberikan pada anak berusia di atasnya lagi; yaitu siswa SMA, MA dan SMK. Sang anak disentuh pema-haman dan kesadarannya sehingga berperilaku baik bukan sekedar kebiasa-an dan berpengertian, tetapi berkesadaran di lubuk hatinya untuk melakukan hal itu. Dalam bahasa Tamansiswa sampai tingkatan Tringa; yaitu ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan) dan nglakoni (menjalankan). Sang anak mengerti maksud berperilaku baik; dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri.
Salah satu isu menarik Kurikulum 2013 menyangkut penambahan jam pelajaran dan pengurangan mata pelajaran. Di SMP misalnya dalam struktur KTSP terdapat 12 dan dalam Kurikulum 2013 tinggal 10 mata pela-jaran; terjadi pengurangan 2 mata pelajaran, termasuk TIK. Argumentasi-nya, nanti TIK bukan mata pelajaran tetapi menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran. Sementara jumlah jam pelajaran ditambah 6 jam setiap minggu.
Di SD juga sama. Dalam struktur Kurikulum 2013 hanya ada 6 dari semula 10 mata pelajaran; artinya terjadi pengurangan 4 mata pelajaran, termasuk IPA dan IPS. Argumentasinya IPA dan IPS akan diintegrasi da-lam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sementara jumlah jam pelajarannya justru bertambah 4 jam setiap minggu.
Kalau nantinya TIK di SMP berubah menjadi sarana pembelajaran artinya semua guru harus memiliki keterampilan yang memadai untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran agar produktivitasnya semakin optimal. Disinilah masalahnya! Jangankan guru di daerah “remote” yang aksesabilitas teknologinya rendah, guru di kota saja masih banyak yang tidak familiar terhadap kemajuan teknologi pembelajaran. Banyak guru belum terbiasa menjalankan komputer, mema-kai LCD Projector, membuka internet, mengunduh (down load) materi pembelajaran, mengunggah (up load) karya akademik, dsb. Guru seperti ini jelas bukan “Guru Kurikulum 2013”, guru yang siap menjalankan Kuriku-lum 2013.
Di SD, kalau IPA dan IPS diintegrasi dalam Bahasa Indonesia maka gurunya harus menguasai materi IPA dan IPS. Di SD berlaku sistem ‘guru kelas’; artinya setiap guru mengajar semua mata pelajaran untuk satu kelas. Dalam praktiknya banyak SD memberlakukan ‘guru mata pelajaran’ pada siswa tingkat 4 sd 6 karena sistem ‘guru kelas’ dianggap tidak efektif.
Penguasaan IPA dan IPS oleh guru bahasa Indonesia bukan pekerjaan mudah karena banyak guru Bahasa Indonesia yang sudah berat memikirkan materi kebahasa-indonesiaannya sendiri. Buktinya di beberapa daerah hasil Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Sekolah Bertaraf Nasional (UASBN) Bahasa Indonesia lebih rendah dibanding mata pelajaran lain. Kita memer-lukan “Guru Kurikulum 2013”; guru Bahasa Indonesia yang menguasai Bahasa Indonesia sekaligus IPA dan IPS !!!*****


sumber : http://dinamikaedukasidasar.org/membangun-karakter-peserta-didik-melalui-kurikulum-2013/#.U5wuLlGjbUk

Tidak ada komentar: