Dalam pengembangan profesi, sesuai dengan tuntutan Permeneg
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 guru dituntut untuk
menghasilkan karya tulis. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi guru untuk
mengesampingkan bahkan tidak mempedulikan tuntutan tersebut. Pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah
pengembangan kompetensi Guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan,
bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya, dan salah satu
kegiatannya ialah publikasi ilmiah yang notabene merupakan kegiatan menulis.
Berkaitan dengan kegiatan menulis, seorang guru hendaknya
bisa menjadi contoh bagi siswa. Untuk itu, mau tidak mau, guru pun dituntut
untuk meningkatkan kemampuan menulis. Tulisan guru dapat dijadikan contoh atau
model menulis bagi siswa. Di samping itu, dengan melakukan sendiri kegiatan
menulis, guru akan memiliki empati terhadap siswa, merasakan kesulitan
sebagaimana yang dialami siswa. Sebagian besar guru kita memang seringkali bisa
menyampaikan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori
yang disampaikan itu. Misalnya, para guru sangat mahir menyampaikan teori
tentang menulis deskripsi, eksposisi, argumentasi, menyusun karya ilmiah yang
baik, juga bagaimana cara menulis puisi atau cerpen yang bagus. Namun, yang
sering dilupakan adalah guru kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan
produktif tersebut secara konsisten dan terus menerus. Bila guru senang
menulis, tentu akan memotivasi siswa untuk senang menulis pula.
Kelemahan siswa dalam menulis telah lama dikeluhkan oleh
guru,. Baik menulis fiksi maupun nonfiksi. Padahal, pelajaran menulis telah
dikenalkan kepada anak sejak awal memasuki jenjang persekolahan, bahkan
sebelumnya. Namun, seiring berkembangnya usia anak dan meningkatnya jenjang
pendidikan, ternyata kemampuan menulis tidak menunjukkan perkembangan yang
berarti. Bahkan untuk mengerjakan tugas (menulis) pun, siswa terlihat begitu
kesulitan bahkan terkesan malas untuk mengerjakan. Maka tidak jarang ketika
liburan, guru memberi tugas untuk menulis pengalaman atau kegiatan yang
dilakukan siswa maka hanya beberapa siswa yang mengerjakan. Itupun masih jauh
dari yang diharapkan.
Kelemahan menulis pada siswa ini tentu tak bisa sepenuhnya
kesalahan siswa. Sebab, bila mau jujur, kelemahan menulis ini juga terjadi pada
guru, yang notabene selama ini sering memberi tugas menulis kepada
siswa. Kelemahan guru dalam menulis ini tampak ketika guru-guru tadi diminta
menunjukkan hasil tulisan yang pernah mereka buat selama ini. Mereka pasti
terperangah dan baru menyadari bahwa mereka sendiri hampir tidak pernah membuat
tulisan, kecuali menulis soal atau ringkasan materi yang akan diajarkan. Bila
memang demikian, lantas, mengapa guru harus mengeluhkan kemampuan siswa,
sementara guru sendiri tak mampu menjadi contoh bagi siswa? Ingat, ketika jari
telunjuk kita mengarah pada siswa, empat jari yang lain justru mengarah pada
diri kita. Jadi, alangkah baiknya bila introspeksi didahulukan sebelum
menjatuhkan vonis.
Sebenarnya, kegiatan menulis dapat dimulai dari hal-hal yang
sederhana. Bisa dari pengalaman pribadi yang paling berkesan (yang menyedihkan,
menggembirakan, menggelikan, bahkan bila memungkinkan yang paling memalukan. Beberapa
siswa (remaja) ada yang sering menuliskan catatan kecil pada Buku Harian
mereka, bukankah itu merupakan suatu langkah yang perlu dikembangkan untuk
menyukai kegiatan menulis? Begitu pula dengan seorang guru. Mungkinkah seorang
guru tidak mempunyai pengalaman-pengalaman yang dapat dituliskan? Jawabannya,
tentu saja punya namun untuk menuliskannya yang sulit! Kalau begitu, pernahkah
kita menceritakan pengalaman kita kepada orang lain secara lisan? Kalau pernah,
barangkali dapat dicoba dengan menceritakan kembali pengalaman yang telah
dilisankan itu ke dalam bahasa tulis.
Ketika dalam pembelajaran ada problem, tentunya secara
rasional guru akan mencari solusi untuk pemecahan permasalahannya baik melalui
strategi, model ataupun menggunakan media pembelajaran yang tepat sehingga permasalahan
diharapkan dapat teratasi. Dalam tahapan pelaksanaan pasti ada
indikator-indikator perubahan dari keadaan awal menuju ke kondisi sesuai dengan
harapan yang diinginkan. Dan kegiatan itu apabila diceritakan secara tertulis
maka akan menjadi sebuah karya tulis dalam bentuk laporan tindakan (baca: PTK).
Semua itu memerlukan proses, proses, dan proses! Bila serius
melakukan proses latihan, tentu akan terbentang jalan. Ingat, di balik
kesulitan pasti ada kemudahan. Jadi, sangatlah tidak beralasan bila masih ada
guru yang dalam sejarah keguruannya tidak pernah mampu menghasilkan tulisan,
baik karya tulis ilmiah maupun karya sastra (puisi, cerpen, atau drama). Namun,
bila yang seperti ini tetap bisa percaya diri mengajar di hadapan para siswa
tanpa merasa punya beban moral atau tanpa punya keinginan untuk mengasah
keterampilan menulisnya, sungguh ”luar biasa”. Akhirnya, mari kita bangkitkan
semangat untuk belajar menulis agar kita mampu mengajarkan bagaimana cara
menulis itu. Dan, tulisan ini pun merupakan hasil dari belajar menulis tadi.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar