PENDEKATAN HUMANISME DAN GAYA KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN
A. Pentingnya Pendidikan yang Humanis
Dilihat dari Pandangan Paulo Freire
Untuk menggambarkan betapa
pentingnya Freire dan pendapatnya dalam dunia pendidikan bisa disimak dari
statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres "Educators can be
with Freire or against Freire, but not without Freire." Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut
kesaksian Martin Carnoy, dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang
jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich.
Paling tidak ada dua ciri orang
tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya.
Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang
lain. Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak
mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan
manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty
vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui.
Pertanyaannya, bagaimana
mengemansipasi mereka yang tertindas? Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire
berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu
berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi
subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah
panggilan ontologis (ontological vocation) manusia. Pernyataan ini menunjukkan
signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia
(ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai
seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi
kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah
dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly,
less cruel, less inhumane). Arah politik pendidikan Freire berporos pada
keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini
bisa bermacam-macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial
yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, gender, ras, dan
sebagainya.
Sebaliknya, dehumanisasi adalah
distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu
pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah
nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta
didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus
mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik
sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan
penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara
dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan
mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh
struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan
transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini
sekaligus.
Idealitas itu bisa dicapai jika
proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik
yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Tetapi, konsep ini tidak
berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus
terlibat (bersama-sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu
pengetahuan.
Guru, dalam pandangan Freire, tidak
hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi
mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers).
Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai
aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan
hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai
medium untuk mereproduksi status quo.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pendidikan yang humanis itu sangat penting. Alasannya, melalui pendidikan
yang humanis maka pendidikan itu sendiri telah menempatkan dirinya sebagai
wadah untuk membangun karakter manusia agar mampu mengembangkan eksistensi
dirinya sehingga mampu menjadi subyek dan mengenal serta membangun kapasitas
dirinya.
B. Hakekat Pendidikan yang Humanis
Jika pendidikan dipahami sebagai
aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya
hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam
menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan
Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a
word must be related to transforming reality." Dengan demikian,
harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan
di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada
dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
Paulo Freire menggolongkan kesadaran
manusia menjadi empat golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical
consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness), Kesadaran
Kritis (critical consciousness) dan kesadaran transformasi (transformation
consciousness).
1.
Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran
masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor
lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka
dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di
luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.
2.
Kesadaran Naif: keadaan yang
dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai
akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for
achievement dalam kesadaran ini dianggap sebagai penentu perubahan sosial.
Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak
di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan
atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.
3.
Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih
melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural
menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan
analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi
dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
4.
Kesadaran transformasi adalah puncak
dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah
"kesadarannya kesadaran" (the consice of the consciousness).
Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan
tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative
akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang
sempurna.
Untuk bisa mencapai kesadaran kritis
dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paulo Freire
menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah
pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi
dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer)
dengan ilmu/teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau
menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid
sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya.
Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis
terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat,
menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah
transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas
utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi”
karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Berdasarkan pemaparan di atas maka
hakekat pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu berperan maksimal
dalam upaya “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena
sistem dan struktur yang tidak berpihak pada masyarakat secara komprehensif.
C. Langkah-langkah Operasional
Pendidikan yang Humanis sehingga mampu memperkuat
Karakter Bangsa
Pandangan Paulo Freire tentang
pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan
dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Ia menyebutnya dengan
kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap
tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari
ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton
dan membosankan. Sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum
disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima
begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada
kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah
dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup
telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan
karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk
menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah
karena bisu dan bukan membisu.
Mereka dalam budaya bisu memang
tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan
dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini
termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa
berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu,
pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang
melaluinya naradidik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang
relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka
mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang
pendidik.
Pentingnya bahasa (symbolics)
sebagaimana dikemukakan Freire tersebut merupakan unsur terpenting dari enam realm
of meanings menurut Phenix. Dalam konteks yang demikian itulah Freire
bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang
telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber
yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan
pendidikan “hadap masalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat
bisu.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai
pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya
tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan
hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan
realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada
kesadaran akan realitas itu.
Konsep pedagogis yang demikian
didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam
realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan
politik. Kesadaran tumbuh dari
pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu
tingkah laku kritis dalam diri naradidik. Freire membagi empat tingkatan
kesadaran manusia, yaitu:
1)
Kesadaran intransitif dimana seseorang
hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam
dalam masa kini yang menindas.
2)
Kesadaran semi intransitif atau
kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana
masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti
hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3)
Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini
sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih
ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan
diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah
jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4)
Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan
kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu
menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu
merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat. Bagi Freire pendidikan yang
membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang
ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran
tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran naradidik
pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
D.
Gaya
Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah gaya pemimpin
yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada
permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam
gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas
serta tanggung jawab para bawahannya.
1. Macam-macam
Gaya Kepemimpinan
a) Berdasarkan pendekatan Path-Goal
1). Gaya Kepemimpinan Direktif
(pemimpin pengarah)
Pemimpin seperti ini mengutamakan pemberian pedoman dan
petunjuk kepada bawahan bagaimana melakukan pekerjaan serta memberitahukan
mengenai apa yang diharapkan dari mereka.
2). Gaya Kepemimpinan Suportif
(pemimpin pendukung)
Pemimpin seperti ini memberi pertimbangan atas kebutuhan
bawahan, memberi perhatian bagi kesejahteraan dan menciptakan keakraban dengan
bawahan dan lingkungan kerja yang menyenangkan.
3). Gaya kepemimpinan
partisipatif (pemimpin partisipatif)
Gaya kepemimpinan ini, yaitu beruding dengan bawahan,
memberi peluang kepada bawahan untuk memberi masukan berupa saran dan gagasan
sebelum mengambil keputusan atau mempengaruhi keputusan yang telah dan akan
dibuat.
4). Gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada prestasi (pemimpin yang berorientasi pada prestasi)
Pemimpin ini menetapkan tujuan menantang, mengupayakan
bawahan meningkatkan prestasi, serta mendorong bawahan untuk mencapai tujuan
dan hasil karya yang lebih tinggi.
b) Berdasarkan Sondang P. Siagian
(2002)
1). Tipe Kepemimpinan Otokratik
Seorang pemimpin yang otokratik
ialah seorang pemimpin yang
Ø Menganggap organisasi sebagai milik
pribadi
Ø Mengidentikan tujuan pribadi dengan
tujuan organisasi
Ø Menganggap bahwa sebagai alat
semata-mata
Ø Tidak mau menerima kritik, saran dan
pendapat
Ø Terlalu tergantung pada kekuasaan
formalnya
Ø Dalam tindaknya penggeraknya sering
mempergunakan approach yang mengandung unsur paksaan dan puntif (bersifat
menghukum)
2). Tipe Kepemimpinan Militeristik
Seorang pemimpin yang bertipe
militeristik ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat:
Ø Kebanyakan sistem perintah yang sering digunakan
Ø Senang bergantung pada pangkat dan
jabatan
Ø Senang kepada formalitas yang
berlebih-lebihan
Ø Menuntut disiplin yang tinggi dan
kaku dari bawahannya
3). Tipe Kepemimpinan
Paternalistik
Ciri-ciri dari tipe kepemimpinan ini
adalah sebagai berikut.
Ø Menganggap bawahan sebagai manusia yang tidak dewasa
Ø Bersikap terlalu melindungi
Ø Jarang memberikan kesempatan kepada
bawahannya untuk mengambil
keputusan
keputusan
Ø Jarang memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk mengambil inisiatif
Ø Jarang memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasi
Ø Sering bersikap mau tahu
4). Tipe Kepemimpinan
Kharismatik
Dalam keadaaan tertentu, tipe
kepemimpinan ini sangat diperlukan karena dapat menutupi sifat negatifnya
dengan kharisma positif yang dimilikinya. Terkadang para bawahannya tidak
memiliki alasan yang kuat untuk memilih seseorang tersebut sebagai pemimpin.
5). Tipe Kepemimpinan
Demokratik
Pengetahuan tentang kepemimpinan
telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat
untuk organisasi modern karena:
Ø Ia senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritikan dari
bawahan.
Ø Selalu berusaha mengutamakan
kerjasama teamwork dalam usaha mencapai tujuan.
Ø Selalu berusaha menjadikan lebih
sukses dari padanya.
Ø Selalu berusaha mengembangkan
kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
6). Tipe Kepemimpinan
Laissez Faire
Tipe kepemimpinan yang santai dan
pengambilan keputusan diserahkan kepada para bawahannya dengan pengarahan yang
minimal bahkan tanpa pengarahan sama sekali. Oleh karena itu, tipe kepemimpinan
ini sering kali dianggap sebagai seorang pemimpin yang kurang memiliki rasa
tanggung jawab yang wajar terhadap organisasi yang dipimpinnya. Serta memandang
dan memperlakukan bawahannya sebagai orang-orang yang sudah matang dan dewasa,
baik dalam teknis maupun mental.
E. Jenis-jenis
Kepeminpinan
Menurut Hasibuan (2002) Ada beberapa
jenis kepemimpinan yang antara lain adalah:
1. Kepemimpinan Otoriter
Kepemimpinan otoriter adalah jika
kekuasaan atau wewenang sebagian besar mutlak tetap berada pada pimpinan atau
pimpinan itu mengganti sistem sentralisasi wewenang. Pengambilan keputusan dan
kebijakan hanya ditetapkan sendiri oleh pimpinan. Bahwa tidak diikutsertakan
untuk memberikan saran, ide dan pertimbangan dalam proses pengambilan
keputusan.
Orientasi kepemimpinan difokuskan
hanya untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai dengan kurang
memperhatikan kesejahteraan bawahannya. Pimpinan menganut sistem manajemen
tertutup (close management) kurang menginformasikan keadaan perusahaan
pada bawahannya pengendaraan kurang mendapatkan perhatian.
2. Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan partisipatif adalah
apabila di dalam kepemimpinannya dilakukan secara persuasif, menciptakan
kerjasama yang serasi, menumbuhkan realitas dan partisipasi para bawahan,
pemimpin motivasi bawahan agar merasa ikut memiliki perusahaan. Pemimpin dengan
cara partisipatif akan mendorong kemampuan bawahan hal mengambil keputusan. Dengan
demikian, pemimpin yang selalu membina bawahan untuk menerima tanggung jawab
yang lebih besar.
4. Kepemimpinan Delegatif
Kepemimpinan delegatif apabila
seorang pemimpin mendelegasikan wewenang kepada bawahan dengan agak lengkap
dengan demikian bawahan dapat mengambil keputusan dan kebijaksanaan dengan
bebas atau leluasa dalam melaksanakan pekerjaannya. Pemimpin yang tidak peduli
cara bawahan mengambil keputusan dan mengerjakan pekerjaannya, sepenuhnya
diserahkan kepada bawahan.
4. Kepemimpinan Situasional
Fokus pendekatan situasional
terhadap kepemimpinan terletak pada perilaku yang diobservasi atau perilaku
nyata yang terlihat, bukan pada kemampuan atau potensi kepemimpinan yang dibawa
sejak lahir. Penekanan pendekatan situasional adalah pada perilaku pemimpin dan
anggota dan pengikut dalam kelompok dan situasi yang variatif. Menurut
kepemimpinan situasional tidak ada satupuun cara terbaik untuk mempengaruhi
orang lain. kepemimpinan yang harus digunakan terhadap individu atau
kelompok tergantung pada tingkat kesiapan pada orang yang akan dipengaruhi.
Sedangkan menurut Ahmad Taufik
Nasution (2009) jenis kepemimpinan secara garis besar di kelompokkan kepada dua
golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1. Pemimpin sekuler. Pemimpin seperti
ini beranjak dari landasan meterialisme. Ia meyakini bahwa jabatan yang merek
aperoleh adalah hasil dari kerja keras, tanpa campur tangan siapapun. Mereka
meyakini usaha dan kesungguhan pasti akan membuahkan kesuksesan. Contoh
pemimpin seperti ini adalah Adolf Hitler, Mussolini, dan lain-lain. Bagi mereka
kekuasaan adalah tujuan hidup, jabatan itu adalah akhir dari segala-galanya.
2. Pemimpin spiritual. Kelompok in
yakin bahwa jabatan yang di peroleh semata-mata amanah yang diberikan Allah
kepada mereka Apapun yang diperoleh tidak hanya tergantung dengan kerja
keras, dan kesungguhan, tapi juga sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di
luar eksistensi manusia. Contoh pemimpin seperti ini di Palestina adalah Syekh
Ahmad Yasin, di India ada Mahatma Gandhi.
Seorang pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang bisa mengayomi para bawahannya. Pergunakanlah tipe kepemimpinan
yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, agar tujuan kelompok atau
organisasi dapat tercapai dengan cara yang efektif dan efisien. Seorang
pemimpin tidak disarankan memiliki sifat yang egois, karena seorang pemimpin
yang baik harus bisa menerima kritik dan saran dari bawahannya.
F. Sifat-sifat
yang Harus dimiliki Pemimpin
Dalam buku Kepemimpinan Pemerintahan
di Indonesia karangan Prof. Drs. S Pamudji, M.PA disebutkan bahwa seorang
pemimpin harus memiliki :
1.
Watak
Matahari
Artinya bahwa setiap permimpin harus
dapat berfungsi laksana matahari yaitu dapat memberi semangat, member kehidupan
dan memberi energi kepada setiap anak buahnya
2.
Watak
Bulan
Artinya bahwa setiap pemimpin harus
dapat berfungsi laksana bulan, yaitu dapat menyenangkan dan memberi terang
dalam kegelapan
3.
Watak
Bintang
Artinya bahwa setiap pemimpin harus
dapat bertqwa dan dapat menjadi contoh teladan dan dapat menjadi pedoman bagi
anak buahnya
4.
Watak
Mendung
Artinya bahwa setiap pemimpin harus
dapat berwibawa tetapi dalam tindakannya harus bermanfaat bagi anak buahnya
5.
Watak
Angin
Artinya bahwa setiap pemimpin harus
dapat melakukan tindakan yang teliti, cermat, dan mau turun ke lapangan untuk
melayani kehidupan anak buahnya.
6.
Watak
Api
Artinya bahwa setiap pemimpin harus
dapat bertindak adil mempunyai prinsip tetap tegak dan tegas tanpa pandang bulu
7.
Watak
Samudra
Artinya bahwa setiap pemimpin harus
mempunyai pandangan yang luas sereta sanggup menerima persoalan dan tidak boleh
membenci seseorang
8.
Watak
Bumi
Artinya bahwa setiap pemimpin harus
sentosa budinya dan jujur serta mau member anugerah kepada siapa saja yang
telah berjasa kepada Negara dana bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar